Muslimedianews.com ~ Penyebaran
Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan
di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar
Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan,
termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate
dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur.
Pada akhir
abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut
Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa
Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang
Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat
Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang
konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses
konversi ini rumit dan lambat.
Pada awalnya
sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara
yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19
Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.
Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian
dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa
Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak.
Kerajaan
Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16,
sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha
sering berperang. Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye
militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan
mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga
terbukti dengan adanya Wali Sanga yang diakui mempunyai andil besar dalam
Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.
Masuknya agama
islam ke nusantara telah membawa banyak
perubahan dan perkembangan pada masyrakat,budaya dan pemerintahan. Perubahan
dan Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
yang bercorak Islam, antara lain sebagai berikut :
1. Kerajaan Islam di
Sumatera
·
Kerajaan Jeumpa
Kerajaan
Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai
dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar
Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja
Jeumpa.
Istana Raja
Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng
merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar
pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang
Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada
langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).
·
Kesultanan Peureulak
Kesultanan
Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah
Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.
Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak,
jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini
dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis
membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8,
disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal
ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai
akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
·
Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan
Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di
sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum
begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan
sebagai bahan kajian sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri
keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini
dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan
perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan
ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar
tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368),
musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai
akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
·
Kesultanan Lamuri
Kesultanan
Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar
dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan
yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan
merupakan cikal bakal kesultanan tersebut.
Sumber
asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri",
"Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li".
Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa
"Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi"
(Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara
daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya,
penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.
·
Kerajaan Pedir
Sejarawan
Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick
Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli.
Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah
yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini
meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan
Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat
Malaka di sebelah utara.
·
Kerajaan Linge
Kerajaan
Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun
1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul)
mempunyai empat orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah
Linge. Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk
cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah
(1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge
pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama
Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
·
Kesultanan Aceh
Kesultanan
Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi
Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu
kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8
September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara lain.
·
Kesultanan Indrapura
Kerajaan
Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir
Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu
dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan
Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas
mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan
ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang
di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah
lada, dan juga emas.
·
Kerajaan Pagaruyung
Pagaruyung
adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera, wilayahnya terdapat di dalam
provinsi Sumatera Barat sekarang. Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon
Nibung atau Ruyung, selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor
Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi
dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam
Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri
Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[3] sayangnya pada
cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan
ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara
Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung
berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya
kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti
Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya
sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam
Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah
taklukan Adityawarman lainnya.
·
Kerajaan Siguntur
Kerajaan
Siguntur adalah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1250 pasca runtuhnya
Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini bertahan selama beberapa masa hingga
kemudian dikuasai oleh Kerajaan Pagaruyung, tapi sampai sekarang ahli waris
istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar Sutan. Ahli waris yang memegang
jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan Hendri.
Kalau
diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung
di bawah kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang
dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur yang
mirip dengan dialek Payakumbuh.
·
Kerajaan Sungai Pagu
erajaan
Sungai Pagu adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada abad 16 di daerah Solok
Selatan sekarang. Lengkapnya nama kerajaan ini adalah Kerajaan Alam Surambi
Sungai Pagu.
Kerajaan
Alam Surambi Sungai Pagu berpusat di Pasir Talang (Solok Selatan) dan daerah
rantaunya yaitu Bandar Sepuluh. Kerajaan ini membentang dari Surian hingga
rantau XII Koto (Sangir).
Sekarang
ini pemangku jabatan raja Kerajaan Sungai Pagu sedang vakum pasca wafatnya
almarhum Zulkarnain Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo
Disambah, yang pernah mengadakan pertemuan dengan pemangku jabatan raja
Kerajaan Pagaruyung yaitu Sutan Muhammad Taufik Thaib Tuanku Mudo Mangkuto
Alam|H. Sultan Muhammad Taufik Thaib, SH Daulat Yang Dipertuan Tuanku Mudo
Mahkota Alam Minangkabau.
·
Kerajaan Bungo Setangkai
Kerajaan
Bungo Satangkai adalah kerajaan yang sudah ada di Minangkabau sebelum
berdirinya Kerajaan Pagaruyung dan merupakan pecahan dari Kerajaan Pasumayan
Koto Batu yang terletak di Sungai Tarab, kabupaten Tanah Datar sekarang.
Kerajaan Bungo Satangkai' didirikan oleh Datuk Ketumanggungan dan sebagai Yang
Dipertuan atau perdana menteri adalah Datuk Banadaro Putiah.
·
Kesultanan Jambi
·
Kesultanan Serdang
·
Kesultanan Asahan
·
Kesultanan Deli
·
Kerajaan Daya
·
Kerajaan Malayu
Tambayung(abad ke 6 akhir) Bintan
·
Kerajaan Pasaman
·
Kerajaan Pulau Punjung
·
Kerajaan Jambu Lippo
·
Kerajaan Koto Anau
2. Kerajaan Islam di Jawa
·
Kesultanan Cirebon (1552 -
1677)
Kesultanan
Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15
dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan
Jawa maupun kebudayaan Sunda.
·
Kesultanan Demak (1500 -
1550)
Kesultanan
Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai
utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya
merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan
baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.[1]
Kerajaan
ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia
pada umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568,
kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang
menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi
keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung
Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi
kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di
sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke
Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut
Demak Prawata.
·
Kesultanan Banten (1524 - 1813
)
Kesultanan
Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak
memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan
beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan.
Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah
Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah
sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan,
dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari
raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
·
Kesultanan Pajang (1568 -
1618)
Kerajaan
Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan
Kerajaan Demak. Kompleks keratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa
batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota
Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
·
Kesultanan Mataram (1586 -
1755)
Kesultanan
Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad
ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng
Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa
Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,
berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya
(Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan
Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya,
termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah
semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima
bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram
merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim.
Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan,
serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
·
Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat (1755-sekarang)
Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara
dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara
diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh
negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan
Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan
adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47).
Sebagai
konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia
sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan
menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta.
·
Kasunanan Surakarta
Hadiningrat (1755-sekarang)
Kasunanan
Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun
1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara
VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan
Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram
dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Kasunanan
Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram,
melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja
Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula
raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak
politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
2. Kerajaan Islam di Maluku
·
Kerajaan Nunusaku
·
Kesultanan Ternate (1257 -
.....? )
Kesultanan
Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara
abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di
paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di
masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian
utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh
Kepulauan Marshall di Pasifik.
·
Kesultanan Tidore (1110 -
1947)
Kesultanan
Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai
abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan,
Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun
1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk
mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan
Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena
protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas
1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama
di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil
menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka
hingga akhir abad ke-18.
·
Kesultanan Bacan
Kesultanan
Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku.
Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat
pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke
wilayah Papua Barat. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak
di Raja Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi
pemerintahan kerajaan Bacan.
·
Kerajaan Tanah Hitu
(1470-1682)
Kerajaan
Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku.
Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang
bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat
Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan
Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran
yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para
pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali,
Tagglukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku
sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan
imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
·
Kerajaan Iha
Kerajaan
Iha adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Saparua, Maluku. Di
Pulau Saparua sampai pada masa penjajahan Belanda ada dua kerajaan yang
terkenal yaitu Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam). Kedua kerajaan Islam yang
cukup berpengaruh ini sempat dikenal sebagai sapanolua artinya dua sampan atau
dua perahu. Yang dimaksudkan ialah pulau Saparua mempunyai dua jasirah yang
besar yang diatasnya berkuasa dua orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu
yaitu disebelah utara Raja Iha dengan kerajaannya dan di sebelah tenggara Raja
Honimoa (Siri Sori dengan Kerajaannya). Kerajaan Iha terlibat dalam sebuah
perlawanan melawan kolonial Belanda yang disebut Perang Iha (1632-1651)] yang
mengakibatkan kerajaan ini kehilangan sebagian daerah dan rakyatnya sehingga
kemudian mengalami kemunduran.
·
Kerajaan Honimoa/ Siri Sori
·
Kerajaan Huamual
·
Kesultanan Jailolo
·
Kerajaan Loloda
·
Kerajaan Sahulau
4. Kerajaan Islam di
Sulawesi
·
Kesultanan Gowa (awal abad
ke-16 - 1667)
Kesultanan
Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini
berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat
Sulawesi bagian selatan. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah
Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki
raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang
dibantu oleh Kesultanan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku
Bugis dengan rajanya, Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku
karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone
memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang
pernah dilakukannya pada abad ke-17.
·
Kesultanan Buton (1332 -
1911)
Kesultanan
Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi
Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu
memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi
bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton
dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah
Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
·
Kesultanan Bone (abad 17)
Kesultanan
Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan
yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi
Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya
kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE
yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang
menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai
Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka
yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya,
kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan
kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di
Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki
dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian
Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian
ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone
La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya
yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone,
We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam
diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone
keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak
oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan
meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone
berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE
(Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
·
Kerajaan Banggai (abad 16)
Kerajaan
Banggai, awalnya hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan, namun kemudian oleh
Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa disatukan dengan Wilayah Banggai Darat.
Bukti bahwa
kerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit dengan nama Benggawi
setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis seorang pujangga
Mojopahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya “Negara Kartagama” buku
bertarikh caka 1478 atau tahun 1365 Masehi, yang dimuat dalam seuntai syair
nomor 14 bait kelima sebagai berikut “Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun
Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling.
5. Kerajaan Islam di
Kalimantan
·
Kesultanan Pasir (1516)
Kesultanan
Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang
berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang
dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi
Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara,
Balikpapan dan Pamukan. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan
Banjar, negeri Paser merupakan salah satu bekas negara dependensi (negara
bagian) di dalam "negara Banjar Raya”. Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan
Paser 30.000 jiwa.
·
Kesultanan Banjar
(1526-1905)
Kesultanan
Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak
oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada
pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun
sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan
Khairul Saleh.
Kerajaan
Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin
kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika
beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika
ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan
Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha
Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Bendera
Negara Banjar berwarna kuning di atas hitam dalam bicolour horisontal. (John
McMeekin , 15 Januari 2011).
·
Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan
Kotawaringin[1] adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan
Banjar) dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin
Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di
Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama
kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap
pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja[4] sesuai dengan Hikayat
Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja
ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan
Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin
merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian
VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu
negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
·
Kerajaan Pagatan (1750)
Kerajaan
Pagatan (1775-1908) adalah kerajaan bawahan yang merupakan daerah otonomi bagi
imigran suku Bugis di dalam negara Kesultanan Banjar. Kerajaan otonom ini
adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau
daerah aliran Sungai Kusan (sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan). Wilayah Tanah Kusan bertetangga
dengan wilayah Kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu
Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
·
Kesultanan Sambas (1671)
Kesultanan
Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi
Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat
pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah
penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang
bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan
berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab
Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Pada masa itu rajanya bergelar
"Nek", salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada
sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang
terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta
oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai
Sambas ini tidak mau mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di
wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530) datang
serombongan besar orang-orang dari Pulau Jawa (sekitar lebih dari 500 orang)
yaitu dari kalangan Bangsawan Kerajaan Majapahit yang masih beragama Hindu,
yaitu keturunan dari Raja Majapahit sebelumnya yang bernama Wikramawardhana.
·
Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura
Kesultanan
Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
(Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300
oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian
pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya
dan adat Kutai Kedaton.
Dihidupkannya
kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni
putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada
tanggal 22 September 2001.
·
Kesultanan Berau (1400)
Kesultanan
Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau
sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang
memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan
istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat
pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya
kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu
Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Sebelumnya daerah-daerah
milik Berau yang telah memisahkan diri dan berdiri sendiri adalah Bulungan dan
Tidung (kemudian ditaklukan Sultan Sulu).
Negara Berau kuno meliputi kawasan pesisir
dari perbatasan mandala Kerajaan Brunei di Kinabatangan (kini termasuk Sabah)
hingga Tanjung Mangkaliat di perbatasan dengan mandala Kerajaan Kutai. Salah
satu dari lima daerah bagian Berau adalah Nagri Marancang. Kepala Nagri atau
Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya
Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya
dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu,
Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung,
Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei.
Menurut
perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, "negara Berau" (yang
terdiri atas Gunung Tabur, Tanjung/Sambaliung, Bulungan dan Tidung) merupakan
salah satu bekas negara dependensi/negara bagian di dalam "negara Banjar
Raya".Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini
termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling yang beribukota di Banjarmasin berdasarkan
Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie,
pada 27 Agustus 1849, No. 8
·
Kesultanan Sambaliung
(1810)
Kesultanan
Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari
pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung
dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah
Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah
keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata
Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji
Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua
dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian,
kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan
Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang
bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan
Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata
Kesuma.
Raja Alam
adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi
kerajaan Sambaliung).
·
Kesultanan Gunung Tabur
(1820)
Kesultanan
Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan
Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung
Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam
wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Utara.
·
Kesultanan Pontianak (1771)
Kesultanan
Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun
1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam
Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang
diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan
politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua
dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari
Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka
mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
·
Kerajaan Tidung (1076-1916)
Kerajaan
Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah
kerajaan yang memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara, yang berkedudukan di
Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di
kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang
berkedudukan di Tanjung Palas.
·
Kesultanan Bulungan (1731)
Kesultanan
Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir
Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan ini berdiri pada
tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin
(1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk
Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan
bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga
dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian
dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar). Pada kenyataannya
sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
6. Kerajaan Islam di Papua
·
Kerajaan Waigeo
·
Kerajaan Misool/Lilinta
(marga Dekamboe)
·
Kerajaan Salawati (marga
Arfan)
·
Kerajaan Sailolof/Waigama
(marga Tafalas)
·
Kerajaan Fatagar (marga
Uswanas)
·
Kerajaan Rumbati (marga
Bauw)
·
Kerajaan Atiati (marga
Kerewaindżai)
·
Kerajaan Sekar (marga
Rumgesan)
·
Kerajaan Patipi
·
Kerajaan Arguni
·
Kerajaan Wertuar (marga
Heremba)
·
Kerajaan Kowiai/kerajaan
Namatota
·
Kerajaan Aiduma
·
Kerajaan Kaimana
(Dari berbagai sumber)
No comments
Post a Comment